Tantangan Perekonomian Indonesia

Tantangan Perekonomian Indonesia

foto: pertumbuhan ekonomi Indonesia


Peluang Presiden Joko 'Jokowi' Widodo untuk terpilih kembali pada 17 April 2019 akan sangat bergantung pada bagaimana dia menangani perekonomian nasional. Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi China dan tren proteksionisme perdagangan telah menekan neraca perdagangan Indonesia. Pengetatan kebijakan moneter di AS dan negara maju lainnya memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Perkembangan ini telah memperparah defisit transaksi berjalan Indonesia dan melemahkan mata uangnya.

Selain itu, kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah berdampak pada perekonomian, menekan APBN dan harga domestik. Secara internal, pemerintah harus mengatasi masalah seperti pelebaran defisit fiskal, pertumbuhan investasi yang lambat, kinerja sektor manufaktur yang lesu, dan kenaikan biaya pinjaman untuk bisnis.

Sejalan dengan meningkatnya pesimisme publik terhadap situasi ekonomi, lawan politik Jokowi mengkritiknya karena salah mengelola ekonomi. Mereka berpendapat bahwa dia bertanggung jawab atas stagnasi pertumbuhan negara dan meningkatnya utang luar negeri yang telah meningkatkan kerentanan keuangan negara. Mereka juga mengklaim bahwa pemerintah telah gagal menjaga nilai mata uang nasional. Rupiah (Rp) terdepresiasi melampaui batas psikologis Rp15.000 per dolar AS pada Oktober 2018, meskipun Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuannya lima kali sejak Mei, menjadi 5,75 persen. Pertanyaannya kemudian, seberapa kuat sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia.

Fundamental yang relatif kuat

Jika seseorang melihat indikator makroekonomi utama seperti pertumbuhan, inflasi dan cadangan devisa, perekonomian Indonesia tidak memberikan alasan yang nyata untuk dikhawatirkan. Dibandingkan dengan Krisis Finansial Asia 1998, Krisis Finansial Global 2008, Taper Tantrum 2013, dan krisis emerging market baru-baru ini, perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang relatif stabil, ditambah dengan tingkat inflasi yang rendah dan cadangan devisa yang lebih tinggi. Selain itu, tingkat utang luar negeri Indonesia juga relatif rendah, yaitu 34 persen dari PDB, dibandingkan dengan 116 persen selama Krisis Keuangan Asia tahun 1998.

Namun demikian, ada satu potensi sumber kerentanan dalam perekonomian, yaitu defisit transaksi berjalan yang semakin melebar. Pengetatan kebijakan moneter di kawasan AS dan Euro, serta pengetatan kondisi keuangan secara umum telah memberikan tekanan yang cukup besar terhadap stabilitas keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor portofolio telah menarik investasi mereka dari pasar ini, terutama yang memiliki defisit neraca berjalan yang besar, seperti Argentina dan Turki. Keduanya telah melihat mata uang mereka anjlok sejak awal tahun ini. Pada tingkat yang lebih rendah, Indonesia rentan terhadap jenis arus keluar modal ini karena sebagian besar defisit neraca berjalannya dibiayai oleh investasi portofolio.

Tantangan ekonomi

Sementara indikator utama kuat dan fundamental ekonomi negara tetap tangguh, ada tantangan yang membayangi administrasi.

Pertama, ia harus menemukan cara untuk mengatasi defisit neraca berjalan. Defisit transaksi berjalan yang besar yang didominasi oleh investasi portofolio menyebabkan kerentanan ekonomi. Upaya pemerintah untuk menarik FDI perlu dilengkapi dengan reformasi regulasi yang menghambat ekspansi sektor manufaktur dan kinerja ekspor, termasuk revisi UU Ketenagakerjaan tahun 2003 untuk mendorong pertumbuhan ekspor padat karya.

Kedua, mengingat ruang fiskal yang diharapkan semakin sempit, pemerintah harus mengevaluasi kembali semua proyek yang masuk dalam proyek strategis nasional dan lebih selektif dalam memprioritaskannya, khususnya yang terkait dengan infrastruktur dan subsidi energi. Ke depan, penyesuaian harga BBM dalam negeri perlu dipertimbangkan secara bertahap mengikuti perubahan harga minyak dunia. Untuk meredam dampak sosial, pemerintah perlu memberikan bantuan sosial kepada mereka yang paling terkena dampak penyesuaian harga. Pada saat yang sama, pemerintah perlu memberi sinyal bahwa subsidi BBM sudah tidak layak lagi, terutama ketika harga minyak naik dan rupiah melemah.

Ambisi pemerintahan Jokowi yang memprioritaskan pembangunan patut diapresiasi, namun hal tersebut juga perlu memperhatikan kemampuan APBN. Kebanyakan sekarang pembangunan infrastruktur dibiayai melalui hutang. Hal ini akan menyebabkan kerentanan ekonomi. Beban hutang dan bunga hutang sangat memberatkan APBN yang sewaktu-waktu bisa menjadi bencana untuk perekonomian Indonesia ditambah lagi pelemahan Rupiah terhadap Dolar. Korupsi yang terjadi di Indonesia menjadikan perekonomian Indonesia semakin memburuk terutama di tengah masa pandemi. Hal yang paling parah lagi dana bantuan sosial yang diperuntukan untuk keluarga yang tidak mampu dikorupsi oleh menteri sosial yang merupakan kader dari partai presiden Jokowi sendiri. 

Terakhir, pemerintah harus hati-hati menerapkan dan memantau kebijakan pembatasan impor, termasuk kebijakan persyaratan kandungan dalam negeri (TKDN) dan kewajiban penggunaan campuran biodiesel (B20) campuran 20 persen. Persyaratan kandungan lokal, jika terlalu ketat, dapat berdampak buruk pada kinerja industri dan daya saingnya. Lingkungan yang lebih apung untuk ekspor harus diprioritaskan. Kebijakan B20 juga perlu didukung dengan strategi implementasi yang jelas karena takut gagal seperti dulu.


Posting Komentar

0 Komentar