Sejarah Kelam Republik Indonesia

Sejarah Kelam Republik Indonesia

foto: penangkapan anggota PKI


Indonesia populer sebagai negara multikultural, masyarakat yang ramah, dan negara yang damai. Namun, bukan berarti Indonesia tidak pernah mengalami konflik intern sebelumnya. Indonesia tumbuh dengan tangguh melalui beberapa tahapan dan fase yang mungkin diketahui oleh semua orang di dunia.

Beberapa kekerasan dan konflik di Indonesia telah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Konflik, kekerasan, dan peperangan biasanya menjadi satu paket yang berhasil menakuti penduduk setempat. Namun, orang Indonesia juga melakukan kekerasan yang mengerikan untuk beberapa tujuan. Berikut sejarah detail kekerasan di Indonesia.

1. Kekerasan di Kerajaan Hindu-Buddha

Berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Kekerasan bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak zaman Hindu – Budha banyak peristiwa kekerasan yang tercatat dan direkam oleh manusia.

Kekerasan kedua juga terjadi pada peristiwa perang yang terjadi sekitar tahun 682 M ketika Sriwijaya menyerbu Melayu. Tak hanya itu, perselingkuhan legendaris kekuatan dan romansa Ken Angrok di abad ke-13 Masehi juga menjadi ciri aksi kekerasan tersendiri. Dia membunuh raja Tunggul Ametung dan suami Ken Dedes wanita yang dicintainya.

foto: penjajah belanda melakukan penyerangan


2. Pada Masa Kerajaan Islam

Saat itu umat Islam di Indonesia juga melakukan kekerasan yang sama. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1637 Amangkurat I dari kerajaan Mataram Islam pernah membunuh 6.000 umat Islam yang menentang kebijakannya bekerja sama dengan VOC. Selain itu, Amangkurat I sering melakukan pertempuran melawan kerajaan Banten dan Surabaya. Di Sumatera juga terjadi aksi kekerasan oleh pasukan Padri saat menyerang orang Batak di tanah Batak sekitar tahun 1816.

Sementara itu di Banten juga terjadi pemberontakan oleh para petani pada tahun 1888. Pemberontakan ini dipelopori oleh ulama Islam yang menyuarakan Perang Sabil di jalan Allah melawan Belanda dan para pengikutnya. Mereka menganggap bahwa Belanda sebagai orang non-Islam, tidak boleh memerintah umat Islam.

Pemberontakan ini juga merupakan akibat dari kebencian rakyat Indonesia terhadap Belanda yang menindas rakyat saat itu. Orang yang emosinya menjadi tidak terkendali saat menyerbu kota Cilegon. Mereka membantai semua orang pribumi yang bekerja untuk Belanda, begitu pula Belanda.

3. Kekerasan terbesar yang pernah ada, G30SPKI

G30SPKI adalah kependekan dari Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Kekerasan ini berawal dari lahirnya pelopor komunis yang dipimpin oleh Muso di Madiun pada tahun 1948. Di Madiun komunis melakukan kekerasan dan pembantaian terhadap ulama dan pejabat pemerintah Indonesia. Tanah dan kekayaan orang kaya diambil oleh komunis. Namun aksi mereka dihentikan oleh divisi Siliwangi sehingga Muso tewas di tempat.

Kekerasan yang lebih parah kembali terjadi pada tahun 1965. Terjadi pembantaian berdarah yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh DN Aidit terhadap tujuh jenderal Republik Indonesia. Mereka berusaha mengubah ideologi negara pancasila, dengan ideologi komunis. Namun tentara Indonesia berhasil menumpas gerakan pemberontakan PKI pada 1 Oktober 1965.

Setelah itu, masyarakat yang kaget dan marah terhadap aksi PKI spontan melakukan serangan balik. Mereka memburu dan membunuh orang-orang yang dicurigai dan terlibat PKI. Ribuan orang yang diduga terlibat PKI tewas di Bali akibat perang saudara. Peristiwa pemberontakan PKI memberikan dampak yang luar biasa terhadap kontra-kekerasan rakyat terhadap PKI di berbagai pelosok Indonesia.

4. Kekerasan Terhadap Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa sering mengalami kekerasan di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka. Pada abad ke-20 saja, peristiwa kekerasan yang tercatat terjadi pada tahun 1916, 1946-47, 1966, 1980, 1996, dan 1998. Persaingan sosial-ekonomi seringkali menjadi penyebab utama kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Mereka adalah minoritas, tetapi secara ekonomi lebih mampu daripada mayoritas pribumi. Berikut adalah sejarah panjang tentang Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia.

Diskriminasi terhadap Tionghoa

Diskriminasi dan kekerasan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia telah tercatat setidaknya sejak tahun 1740, ketika Pemerintah Kolonial Belanda membunuh hingga 10.000 keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan. Sejak saat itu, diskriminasi dan kekerasan menjadi perhatian pemerintah asing dan Indonesia.

Selama masa Orde Baru, pemerintah memelihara sebagian kecil pengusaha Cina yang sangat kaya. Berbagai pembatasan etnis Tionghoa, kebijakan Orde Baru dalam menggalang modal asing untuk pembangunan, serta hubungan klien patron yang ada dengan segelintir pengusaha Tionghoa telah menciptakan kelas pemilik konglomerat bisnis raksasa yang kaya raya. Cukong tumbuh di bawah perlindungan penguasa.

Ada persepsi umum bahwa orang Indonesia keturunan Tionghoa telah mendominasi perekonomian Indonesia. Asumsi inilah yang kemudian meningkatkan sentimen anti-Cina dan menyulut kebencian di kalangan masyarakat Indonesia.

Tragedi Mei 1998

Krisis keuangan tahun 1997 memperburuk situasi ini. Puncak kerusuhan terjadi pada Mei 1998, dimana banyak etnis Tionghoa yang menjadi korban. Bagaimanapun provokasi berperan besar dalam mengubah sentimen anti-Cina menjadi kekerasan, itu adalah hasil dari kebijakan diskriminatif Orde Baru. Orang Tionghoa masih diperlakukan sebagai orang luar, bukan pribumi.

Ketika rezim menciptakan ketidakadilan ekonomi yang lebih kuat dan lebih kuat dengan mempertahankan Cukong (gelar untuk penguasa Cina), kemarahan terhadap rezim berubah menjadi kekerasan terhadap etnis Cina. Sedikitnya ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998.

5. Kekerasan terhadap mahasiswa Indonesia dalam Tragedi Trisakti

Ada juga beberapa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap mahasiswa akibat demonstrasi besar yang terjadi pada tahun 1998. Ini adalah sisi hitam sejarah Indonesia untuk menciptakan era reformasi. Untuk melihat penjelasan lebih lanjut, Anda bisa melihat bagian berikut ini.

Tiada hari tanpa demonstrasi selama Mei 1998

Runtuhnya perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintah Indonesia saat itu sangat menentukan pertumbuhan ekonomi bangsa ini agar dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu ditentang oleh mahasiswa dan sebagian orang tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden.

Sejak sebelum MPR 1998 demonstrasi telah dilakukan oleh mahasiswa Yogyakarta hingga masa MPR 1998. Demonstrasi mahasiswa semakin marak di berbagai kota di Indonesia, termasuk Jakarta, hingga berlanjut hingga Mei 1998.

Demonstrasi berakhir bentrok dengan aparat

Saat itu aksi unjuk rasa bersama mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta direncanakan akan serentak turun ke jalan di beberapa lokasi di sekitar Jabotabek.

Peristiwa besar pertama terjadi pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor dan mahasiswa non IPB dilarang masuk ke kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Mereka hanya bisa berdemonstrasi ke Rawamangun dan Bogor sehingga terjadi bentrok yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka-luka dan dirawat di rumah sakit.

Demonstrasi mahasiswa Trisakti berakhir baku tembak

Situasi menjadi memanas. Hampir setiap hari terjadi demonstrasi bahwa sikap Brimob dan TNI semakin keras terhadap mahasiswa apalagi mereka berani turun ke jalan. Pada 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti berdemonstrasi menentang terpilihnya kembali Suharto sebagai Presiden Indonesia terpilih pada awal Orde Baru.

Saat itu mahasiswa berpindah dari kampus Trisakti di Grogol ke gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang polisi, mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadi penembakan mahasiswa Trisakti. Penembakan yang terjadi pada sore hari itu mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti tewas dan puluhan lainnya baik mahasiswa maupun umum dirawat di rumah sakit karena luka-luka.

Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, rakyat mengamuk dan melakukan perusakan di kawasan Grogol terus meluas ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang melakukan tembak mati terhadap mahasiswa. Hari itu, Jakarta ketakutan dan tegang.

6. Kekerasan saat tragedi Semanggi

Pada awal November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan pemilihan umum berikutnya dan membahas agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa mundur karena tidak mengakui pemerintahan BJ Habibie dan tidak mempercayai anggota DPR/MPR Orde Baru. Beginilah tragedi Semanggi terjadi. Anda bisa melihat penjelasan lebih lanjut tentang tragedi Semanggi ini.

Demonstrasi itu kembali berakhir dengan kematian seorang mahasiswa

Pada 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala penjuru, Semanggi-Slipi-Kuningan, namun tidak ada yang berhasil menembusnya karena dijaga sangat ketat oleh TNI, Brimob dan Pamswakarsa.

Sore harinya terjadi bentrokan di Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa dirawat di rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Seorang mahasiswa bernama Lukman Firdaus terluka parah dan dirawat di rumah sakit. Beberapa hari kemudian dia meninggal dunia.

Kebersamaan antara mahasiswa dan warga sipil

Pada hari Jum'at tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sipil Indonesia telah bergabung dan mencapai Semanggi dan sekitarnya. Hari itu mereka bergabung dengan mahasiswa yang sudah berada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta.

Jalan Sudirman sudah dihadang petugas sejak malam. Pagi hingga siang hari, jumlah aparatur semakin banyak dan menghambat laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman menggunakan kendaraan yang lebih sedikit.

Saat itu beberapa mahasiswa tertembak dan tewas seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang menjadi korban pertama hari itu.

Para korban saat tragedi Semanggi

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 korban, terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, 1 orang anggota Satpam Hero Supermarket, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 warga sipil.

Sedangkan 456 korban luka-luka, sebagian besar akibat tembakan dan hantaman benda keras, tajam/tumpul. Mereka terdiri dari pelajar, mahasiswa, jurnalis, aparat keamanan, dan masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, bocah berusia 6 tahun, yang terkena peluru di kepala.

Kesimpulannya, Indonesia pernah menjadi negara yang buruk di mana kekerasan terjadi. Tidak mudah menyatukan keberagaman. Tidak pernah mudah untuk memperjuangkan pendapat yang berbeda. Hingga saat ini, mungkin masih ada beberapa orang yang melakukan kekerasan untuk tujuan tertentu. Dan mudah-mudahan, tidak akan pernah sebesar sejarah.

Posting Komentar

2 Komentar

Unknown mengatakan…
Terima kasih atas informasinya
Unknown mengatakan…
sejarah islam juga ada yg kelam